Laman

Rabu, 24 Oktober 2012

Problematika Ekonomi Nasional

Kondisi makro ekonomi 2011
Belakangan ini, pemberitaan di sejumlah media massa dipenuhi oleh keberhasilan spektakuler yang dicapai Indonesia dari sisi makro ekonomi. Tahun 2011 lalu, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen—yang  menjadikan kita sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di regional Asia Tenggara. Hal tersebut mengindikasikan bahwa struktur ekonomi nasional cukup kuat dan stabil di tengah ancaman resesi global beberapa tahun mendatang—akibat krisis finansial yang masih membayangi perekonomian Eropa. Ditambah lagi, indikator lain, seperti angka inflasi sebesar 3,79 persen—merupakan yang terendah se-Asia-Pasifik—semakin mengkokohkan Indonesia dalam pergaulan ekonomi global. Lebih jauh mengenai keberhasilan ini, Fitch Ratings menyematkan peringkat “Investment grade” atau layak investasi atas perekonomian nasional—yang sebelumnya juga diberikan oleh pemeringkat investasi Moody’s. Peringkat ini membawa optimisme domestik dan global akan ekonomi nasional yang semakin baik. Meskipun dalam jangka pendek peringkat ini belum akan memberikan ekses positif yang signifikan, kita bisa berbesar hati. Tetapi  sebaiknya kita tidak cepat berpuas diri atas pencapaian peringkat layak investasi tersebut karena jika dikomparasikan dengan negara berkembang di  Asia lainnya, peringkat ini masih berada di bawah Malaysia dan Thailand—tetapi masih setara dengan India.

Pembacaan sejarah yang jujur
Sebagai negara yang sedang tumbuh di tengah badai krisis finansial global, keberhasilan tersebut seyogyanya menunjukkan perbaikan berarti dari sisi ketahanan dan stabilitas ekonomi nasional, kesiapan dalam menghadapi risiko rapuhnya perekonomian sebagian besar negara di dunia yang dibangun atas dasar kebijakan-kebijakan neoliberal serta kegigihan dalam upaya menciptakan pembangunan ekonomi yang adil, stabil dan berkelanjutan. Kita—bangsa Indonesia harus belajar dari sejarah masa lalu sehingga kedepannya ekonomi nasional tak tertarik  ambruk lagi akibat efek domino krisis finansial eksternal seperti pada periode 1997-1998 silam. Selain itu, belajar dari penanganan pascakrisis pada periode tersebut—yang memperlihatkan kekurangtanggapan pemerintah dan dunia bisnis—sehingga sampai saat ini kita masih saja tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia, kita seharusnya sudah mempersiapkan diri akan ketidakpastian ekonomi di tahun-tahun mendatang.

Masalah-masalah sosial-ekonomi
Dibalik pencapaian meggetarkan hati tersebut, terdapat hambatan-hambatan yang perlu kita atasi. Kembali lagi, pada pengkajian sejarah yang jujur, kita masih tergolong lamban dalam upaya “recovery” dari krisis moneter sebelum era reformasi tersebut. Sejarah mencatat pada dekade pertama pascareformasi, kita masih saja berkutat dalam mengatasi problematika dalam negeri yang rumit—seperti tindak korupsi yang bersarang hampir di setiap level pemerintahan, bencana alam, kisruh perpolitikan, dan terorisme yang menjadi-jadi.
Pada dekade kedua inipun, masih banyak masalah yang kita jumpai. Untuk kali ini, kita berfokus pada masalah-masalah sosial-ekonomi. Indikator makro ekonomi yang tampak baik ternyata tidak cukup diimbangi dengan penekanan dan pengurangan  masalah-masalah sosial-ekonomi masyarakat. Lihat saja, di  jalan-jalan kota besar masih dijumpai anak jalanan, gelandangan dan pengemis, ribuan keluarga yang hidup di pemukiman kumuh, dan tindak kriminalitas yang tinggi sebagai akibat tuntutan ekonomi yang mengharuskan “orang kecil” menghalalkan semua cara untuk mempertahankan hidupnya. Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan.
Data empiris terkait masalah sosial-ekonomi
Berdasarkan data yang dipublikasikan BPS, dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia (hasil sensus penduduk 2010), sekitar 29,89 juta jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Malaysia yang hanya berjumlah sekitar 28 juta jiwa. Dapat dikatakan, bahwa walaupun pemerintah telah berhasil menurunkan angka kemiskinan, dengan jumlah masyarakat miskin sebesar itu, masih perlu upaya lebih keras dan berkesinambungan dari Pemerintah. Kontras memang, dengan pencapaian makro ekonomi di atas. Ditambah lagi, dari dari total 107,7 juta angkatan kerja (mereka yang berumur > 15 tahun dan giat secara ekonomi) di Indonesia terdapat 2,8 juta pengangguran. Angka yang masih tinggi untuk negara yang masuk dalam jajaran negara G20 (negara dengan volume ekonomi yang besar). Lebih jauh lagi, angka melek huruf yang masih relatif tinggi turut mendepresiasikan pencapaian makro di atas.

Resolusi
Ada sederet masalah sosial-ekonomi yang menunggu untuk segera di atasi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggungjawab negara dan pemerintah sebagai pengayom masyarakat tetapi juga keharusan bagi kita—segenap bangsa Indonesia untuk turut berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan, pembukaan kesempatan kerja, dan peningkatan kualitas masyarakat yang melek teknologi dan informasi (IT Literacy). Untuk itu, Marilah kita lakukan perubahan di lingkungan sekitar kita. Mulailah dari perubahan kecil dari pola pikir konservatif kita yang masih menyandarkan permasalahan bangsa pada negara dan pemerintah semata. Sudah saatnya, pemuda mengambil bagian penting dalam pembangunan bangsa. Semoga kita—bangsa Indonesia bisa menarik kembali “makna pembangunan” yang sesungguhnya—pembangunan yang berbasis kerakyatan bukan “pembangunan semu” yang dibangun di atas fondasi ekonomi yang rapuh–seperti pada era Soeharto (baca: Orde Baru).

Tidak ada komentar: